Iklan 3360 x 280
iklan tautan
Patriot NKRI - Kepedihan semakin terasa, ketika di hari itu juga Presiden Soekarno harus menggoreskan tanda tangan yang artinya akhir dari hidup sahabat karibnya. Ia pandangi kembali selembar foto sahabatnya, tak terasa linangan air mata menetes dari kedua mata Bung Karno.
Perseteruan kawan sekaligus sahabat yang kemudian menjadi lawan antara Soekarno dan Kartosuwiryo bukanlah sekedar kisah sejarah yang berdiri sendiri, melainkan sebuah mata rantai yang masih aktual hingga saat ini.
Kartosuwiryo, kawan yang menjadi lawan tangguh Soekarno membuktikan, dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Meski keduanya merupakan murid dari sang guru HOS Cokroaminoto, namun pada akhirnya Soekarno dan Kartosuwiryo menempuh keyakinan ideologi masing-masing. Bersama mengambil langkah politik, keduanya menjadi rival dan ideologi bagi Soekarno.
Tidak hanya berhenti soal ideologi, bibit perseteruan juga mulai mengarah kepada konflik terbuka. Kala itu, Kartosuwiryo yang memimpin laskar seperti Hisbullah-Sabilillah dan Barisan Bambu Runcing di wilayah Jawa Barat, menolak ikut hijah ke wilayah Republik.
Bersama para laskar yang dipimpinnya, Kartosuwiryo bersikeras memilih untuk tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda di wilayah Jawa Barat.
Saat Soekarno - Hatta ditangkap di Yogyakarta pada Agresi Militer II, Kartosoewiryo menganggap bahwa negara Indonesia telah kalah dan bubar. Ia juga memaklumatkan perang terhadap Bung Karno (sebagai pemerintahan yang sah) dan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
"Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam," kata Soekarno dalam buku 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' Karya Cindy Adams, Terbitan Media Pressido.
Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo itu mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan masing-masing. Bahkan, Kartosoewirjo berusaha menumbangkan Soekarno dengan Pancasilanya.
Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya. Dengan militansi yang dimilikinya, Kartosoewirjo melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Saat itu, ia dengan DI/TII nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Bung Karno. Sejumlah percobaan pembunuhan kepada Bung Karno pun dilakukan.
"Bunuh Soekarno. Dialah penghalang pembentukan negara Islam. Soekarno menyatakan bahwa Tuhannya orang Islam bukan hanya Tuhan. Soekarno bekerja menentang kita. Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus membunuh Soekarno," kata Kartosoewirjo di tahun 1950an.
Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno hampir berhasil dilakukan. Empat orang pria tiba-tiba melemparkan sejumlah granat ke arah Bung Karno. Saat itu, 30 November 1957, Bung Karno baru saja selesai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini.
Beruntung Bung Karno selamat dari kejadian itu. Namun, puluhan korban tak berdosa menjadi korban. Kemudian saat hari raya Idul Adha percobaan pembunuhan kepada Bung Karno kembali terjadi.
Bung Karno yang kala itu tengah melaksanakan salat Idul Kurban bersama umat muslim lainnya di lapangan rumput Istana Merdeka, tiba-tiba mendapat berondongan tembakan dari seorang pria. Namun, Bung Karno kembali selamat.
Namun ketika pasukan TNI berhasil mendesak pasukan DI/TII, Kartosoewiryo terpaksa mengakhiri petualangannya hingga akhirnya ia ditangkap di tengah ketidakberdayaannya di Gunung Geber, Jawa Barat, 4 Juni 1962.
Tibalah pada saat detik-detik Soekarno harus menandatangi berkas vonis mati sahabat yang memusuhinya itu, pada September 1962. Bung Karno hanya terdiam memandangi selembar foto Kartosewiryo dan melambungkan memori masa mudanya bersama sang sahabat di Surabaya.
Kepedihan semakin terasa, ketika di hari itu juga Soekarno harus menggoreskan tanda tangan yang artinya akhir dari hidup karibnya. Ia pandangi kembali selembar foto Kartosoewiryo, tak terasa linangan air mata menetes dari kedua mata Bung Karno.
Hari terakhir Kartosoewirjo |
Dan benar adanya, saat ia menerima laporan ihwal tertangkapnya Kartosoewiryo beberapa bulan sebelumnya hanya satu pertanyaan Bung Karno, "Bagaimana matanya?". Kala itu, tak ada seorang pun yang mampu menjawab. Hingga keesokan harinya, petugas menyodorkan foto Kartosoewiryo.
Demi melihat foto sahabat yang memusuhinya, Bung Karno tersenyum seraya berkata, "Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang."
Sumber: riauonline.com | nasional.news.viva | merdeka.com
Waspada bahaya laten DI/TII!!! NKRI HARGA MATI!!!
BalasHapus